CONEFO dan GONEFO, Sejarah Indonesia yang Terlupakan

1 Comments
CONEFOConference of The New Emerging Forces (CONEFO) merupakan gagasan Presiden Soekarno untuk membentuk suatu kekuatan blok baru yang beranggotakan negara-negara berkembang untuk menyaingi 2 kekuatan blok sebelumnya (Blok Uni Soviet dan Blok Amerikat Serikat). Sebuah gagasan yang sangat brilian ketika negara-negara yang baru melepaskan diri dalam keadaan bimbang dan galau memikirkan nasibnya. Soekarno dengan tangan dinginnnya itu mendatangkan harapan baru bagi mereka dan sekaligus mendatangkan kebanggaan bagi bangsa yang melahirkannya.

CONEFO dimaksudkan sebagai tandinganterhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mungkin saja apa yang dipikirkan sookerno waktu itu adalah bagaimana dunia bisa tertib apabila PBB yang seharusnya berdiri di tengah justru dikuasai oleh negara adidaya. Bagaimana bisa dalam organisasi dunia yang mengusung nilai-nilai demokrasi tetapi kekuatan satu dua negara bersifat mutlak, contohnya adalah hak veto.

CONEFO project juga dimaksudkan agar menyejajarkan bangsa kita, bangsa Indonesia yang baru berkembang ini dengan bangsa-bangsa yang sudah mapan seperti Amerika, Inggris, Rusia China, untuk sama-sama mengatur ketertiban dunia. Sungguh bangsa ini pada waktu itu sudah siap untuk mengatur dunia. Dari tujuan berdirinya negara ini saja kita sudah mendapati bahwa negara kita punya ambisi dan obsesi berperan di tingkat dunia. Tentunya kita masih ingat dengan tujuan berdirinya negara kita kan? salah satunya adalah melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sesuatu yang sudah sangat tegas bahwa bangsa kita adalah sebagai “pelaksana” ketertiban dunia. Maka pada saat itu di mana di belehan dunia lain masih terdapat penjajahan bangsa kita, bangsa Indonesia mengumpulkan segenap kekuatan untuk menginisiasi kemerdekaan mereka. Bukan saja kemerdekaan bagi 1 bangsa saja, tetapi kemerdekaan bagi kemanuasiaan. Konferensi Asia Afrika merupakan gambaran betapa peran bangsa kita menjadi bangsa yang sangat dihormati dan sangat brilliant dalam menghadapi ke’galauan’ dunia waktu itu. Seluruh bangsa-bangsa besar yang tidak ingin berkepanjangan dengan konflik antar blok segera merapat dalam barisan dan membentuk sebuah gerakan baru yang cukup ditakuti oleh negara adidaya waktu itu, Gerakan Non Blok.

CONEFO adalah gagasan lainnya yang ingin melambungkan bangsa kita. Sebuah gagasan yang penuh ambisi dan obsesi di tengah kegalauan para pemimpin dunia kala itu. Keberanian Indonesia untuk memutuskan keluar dari PBB adalah sebuah hal yang sangat mencolok, bahwa bangsa kita apda masa itu punya wibawa, tidak hanya gertak sambal dan mutungan. Tapi kita punya sikap tegas yang mantap.

Untuk mewujudkan proyek CONEFO itu, maka dibangunlah suatu kompleks gedung dekat Gelora Senayan yang pada waktu itu mendapat bantuan antara lain dari Cina (RRC). T anggal 8 Maret 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 48/1965 yang menugaskan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT) Soeprajogi untuk melaksanakan pembangunan proyek Political Venues di Jakarta. Proyek raksasa tersebut harus sudah seselai dikerjakan sebelum tanggal 17 Agustus 1966. Artinya hanya tersisa waktu 17 bulan untuk menyelesaikan pembangunan raksasa tersebut.

Bangunan yang akan dibangun menggunakan filosofi bentuk pesawat, sebuah cita rasa yang sangat kental dengan selera sokarno waktu itu. Sayap pesawat yang terbelah itu ingin menunjukkan pada rakyat dan bangsa kita bahwa saat ini bangsa kita sedang terbang menuju tatanan dunia baru. Bukan menjadi penonton peradaban, tetapi menjadi pelaku peradaban.


Gedung Conefo saat ini
Namun alangkah sangat disayangkan, konferensi itu tidak pernah berlangsung terjadinya pemberontakan G 30 S PKI menjadikan konsentrasi bangsa ini terpecah. Kestabilan politik yang tidak menentu dan secara berangsur perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto yang penuh dengan misteri, menjadikan proyek itu sengsara. Tanpa ruh, dan tanpa spirit.

Akhirnya Soeharto sebagai pimpinan tertinggi saat itu memutuskan bahwa pembangunan akan tetap terus dilanjutkan, tetapi peruntukannya diubah menjadi Gedung MPR/DPR RI. Sampai saat ini kita bisa melihat gedung itu masih berdiri sebagai saksi sejarah sebuah ambisi besar bangsa kita.

Alangkah tergerusnya hati kita, jika kita mengetahui sejarah tersebut kemudian membandingkannya dengan perilaku para penghuni gedung tersebut. Alangkah sedihnya, gedung yang semula akan ditempati para utusan dunia untuk mengatur tatanan dunia sekarang ditempati para politikus. Para tikus pengerat yang tidak sedikitpun memberikan contoh yang baik. Perilaku yang amoral sering dipertontinkan di depan mata kita.

Alangkah sedihnya, saat kita sebangsa se tanah air menunggu keputusan genting yang penting menyangkut hajat hidup kita, malah kita ditunjukkan dengan aksi baku hantam yang kekanank-kanakan mereka para anggota dewan.

Alangkah nelangsanya, saat konflik di sana sini, masyarakat miskin di mana-mana tetapi justru mereka asyik-asyik menggerogoti dana dengan proyek-proyek amoral. Toliet yang dibangun bermilyar-milyar, ruang rapat sampai 20 Milyar dan semua itu tidak ada substansinya mereka sebagai anggota dewan.

Alangkah sedihnya perilaku mereke, yang menempati gedung yang menyimpan asa, harapan besar. Bukan hanya kepentingan perut dan mulut. Tapi sebuah harapan untuk mengatur seluruh bangsa di dunia.

Semoga mereka tersadar dan mau belajar dari sejarah. Menghargai leluhur dan tidak melanjutkan kemiskinan mereka dalam hal MORAL
  
GONEFO10 November 1963, tidak seperti hari-hari biasanya, situasi di Ibukota Jakarta terlihat sangat berbeda; semarak dan penuh kemeriahan. Di sana-sini, terutama di sekitar kawasan Gelora Bung Karno, dekorasi warna merah-putih membawa pesan “patriotik” acara ini. Rakyat pun tidak tinggal dia, dan dengan begitu antusias membanjiri sekitar lokasi. Inilah sedikit suasana menjelang pembukaan perhelatan Games of New Emerging Forces (Ganefo).

Ganefo, yang memiliki semboyan Onward! No Retreat (Maju Terus! Pantang Mundur), berlangsung 10 sampai 22 Nopember 1963. Diikuti 2.200 atlit dari 48 (versi lain menyebutkan, ada 51 negara) negara Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa (Timur). Karena besarnya jumlah kepesertaan dan cabang olahraga yang dipertandingkan, maka “Ganefo” pantas disebut Olympiade tandingan.

Sebelum mengulas jauh soal Ganefo ini, kita sebaiknya mengupas sedikit mengenai konteks historis yang melingkupinya, dan hubungannya dengan perjuangan nasional bangsa Indonesia itu sendiri. Pada tahun 1961, Bung Karno menelorkan konsepsinya dalam memandang dunia, yaitu soal Nefo dan Oldefo, dan mempertentangkannya sebagai kontradiksi yang tak-terhindarkan (terdamaikan). Nefo-The new emerging Forces—mewakili kekuatan baru yang sedang tumbuh, yaitu Negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin yang berusaha bebas dari neo-kolonialisme dan imperialisme serta berusaha membangun tatanan dunia baru tanpa exploitation l,homme par I’homme, sementara Oldefo—The Old Esthablished Forces—mewakili negeri-negeri imperialis dan kekuatan lama yang semakin dekaden.

Setelah era perjuangan fisik untuk pembebasan nasional, Soekarno pada tahun 1957, disebut juga tahun penentuan, telah menandaskan bahwa nation building memerlukan revolusi mental. Segera setelah itu, Bung Karno telah berkeyakinan bahwa, selain olahraga sebagai alat pembentuk jasmani, olahraga adalah alat pembangun mental dan rohani yang efektif. Dan, karenanya, olahraga dapat dijadikan salah satu alat untuk membangun bangsa dan karakternya (nation and character building).

Selain dimaterialkan dalam bentuk kurikulum di sekolah-sekolah dan menggencarkan kegiatan olahraga di kalangan rakyat, Bung Karno juga berusaha menjadikan ajang kejuaraan olahraga untuk menunjukkan nama bangsa Indonesia di dunia internasional. “Buat apa toh sebetulnya kita ikut-ikutan Asian Games? Kita harus mengangkat kita punya nama. Nama kita yang tiga setengah abad tenggelam dalam kegelapan,” demikian dikatakan Bung Karno.

Untuk itu, setelah mengalahkan Pakistan dalam pemungutan suara, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asian Games ke-IV. Segera setelah mendapat kepastian menjadi tuan rumah Asian Games, Bung Karno berupaya melobby Soviet untuk memperoleh bantuan dalam pembangunan sejumlah proyek olahraga. Meski Soviet kurang nyaman dengan kedekatan politik internasional Indonesia dengan Tiongkok, namun negeri sosialis paling pertama di dunia ini tetap bersedia memberi bantuan sebesar 10,5 juta dollar AS, yang, menurut Maulwi Saelan, salah satu ajudan Presiden Bung Karno pada saat itu, dibayar oleh Indonesia dengan karet alam dalam tempo dua tahun.

Usaha Bung Karno tidak sia-sia. Indonesia berhasil membangun kompleks olahraga, dimana di dalamnya terdapat stadion utama yang memiliki kapasitas 100.000 penonton (sebelum diciutkan menjadi 80.000 pada tahun 2007), dan menggunakan arsitektur temu gelang. Istana Olahraga (Istora) selesai dibangun pada 21 Mei 1961, Stadion Renang, Stadion Madya, dan dan Stadion Tenis (Desember 1961), Gedung Basket (Juni 1962), serta Stadion Utama (21 Juli 1962). Kompleks stadion olahraga dibangun selama 2 1/2 tahun, siang dan malam oleh 14 insinyur Indonesia, 12.000 pekerja sipil dan militer bergantian dalam 3 shift.


You may also like

1 komentar: